PT Alno Garap Hutan Mukomuko, Pengamat: Usut!

Kamis 24 Apr 2025 - 21:58 WIB
Reporter : Firmansyah
Editor : Riky Dwiputra

KORANRB.ID – Penanganan dugaan alih fungsi kawasan hutan yang melibatkan PT Alno Agro Utama Air Ikan Estate, bagian dari Anglo Eastern Plantation (AEP) Group tengah menjadi sorotan.

Dengan luas yang berkisar 200 hektare, perusahaan ini diduga telah mengubah fungsi kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh I yang telah berlangsung cukup lama tanpa kejelasan status hukum.

Terkait dugaan tersebut, Praktisi Hukum Bengkulu, Muslim Chaniago SH, MH, menekankan pentingnya penyelidikan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memastikan apakah benar alih fungsi hutan tersebut terjadi ataukah hal ini masih terhambat oleh kendala administrasi.

"Jika kita melihat perkara ini, jelas bahwa tahap awal penyelidikan sangat diperlukan. Kita harus memastikan apakah perubahan fungsi lahan tersebut sudah melalui prosedur yang benar atau belum," ujar Muslim.

BACA JUGA:Peringati World Book dan Kartini: Bank Indonesia Bengkulu Gelar Bedah Buku “Tabi” Bersama Marchella F.P

BACA JUGA:Waspada Rabies, 40 Warga Kepahiang Digigit Anjing Liar

Dalam konteks perlindungan hutan, Muslim mengingatkan bahwa ada dua Undang-Undang yang menjadi dasar pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan perlindungan terhadap hutan, dan diperkuat dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2013 untuk mencegah perusakan kawasan hutan.

Pasal 50 dalam UU Kehutanan pun secara tegas melarang berbagai kegiatan ilegal dalam kawasan hutan, seperti pembakaran, penebangan, hingga penggunaan alat berat tanpa izin.

“Jika aturan ini diterapkan dengan benar, seharusnya kawasan hutan bisa terlindungi dari alih fungsi lahan yang merugikan ekosistem dan kesejahteraan negara,” tambahnya.

Namun, diakui Muslim, penerapan aturan ini tidaklah mudah. Pemerintah terus menghadapi tantangan dalam menegakkan regulasi yang ada. Dalam hal ini, UU Cipta Kerja (UUCK) No. 6 Tahun 2023 yang memberikan sedikit kelonggaran, dengan memungkinkan kebun sawit yang sudah ada di kawasan hutan untuk tetap beroperasi. Meski begitu, syarat administratif yang harus dipenuhi oleh pihak pengelola kebun tetap menjadi bagian penting dalam pengawasan dan penegakan hukum.

BACA JUGA:Gedung Baru Puskesmas Rawat Inap Malin Deman Belum Dioperasikan, Terkendala Jaringan Listrik PLN

BACA JUGA:Hingga April 2025, Dinkes Lebong Belum Ditemukan Kasus HIV Baru

Selain itu disampaikan Muslim, pemerintah sendiri, melalui UUCK, membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk menyesuaikan izin usahanya dengan ketentuan yang ada.

Jika dalam waktu 3 tahun izin usaha tersebut tidak diselesaikan, perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin usaha dan denda. Namun, dalam hal ini, sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 110a dan 110b UU Cipta Kerja, tampaknya tidak diterapkan secara tegas.

“Ini menjadi tantangan baru bagi pemerintah dalam mengawasi dan menerapkan regulasi kehutanan secara efektif,” jelas Muslim.

Tags :
Kategori :

Terkait