Dikotomi UU Otonomi Daerah dan UU Kesehatan, Serta Kaitannya dengan Kelangkaan Dokter Spesialis di Daerah
![](https://harianrakyatbengkulu.bacakoran.co/upload/6c78f0aabfdf6eb9a62a41e061f38e76.jpg)
DOKTER: Dikotomi UU Otonomi Daerah dan UU Kesehatan, Serta Kaitannya dengan Kelangkaan Dokter Spesialis di Daerah. DOK/RB--
Untuk kebutuhan dokter spesialis yang ideal, menurut Bappenas, ialah 0,28 per 1.000 penduduk. Itu berarti dengan penduduk 275 juta jiwa, kita memerlukan sebanyak 77 ribu dokter spesialis.
Masih ada kekurangan sekitar 24 ribu dokter spesialis dari 36 jenis spesialisasi yang ada.
Dengan sistem pendidikan spesialis seperti sekarang ini perlu waktu puluhan tahun untuk memenuhi kekurangan spesialis di berbagai daerah di Tanah Air.
Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem baru dalam pendidikan spesialis yang memungkinkan untuk dapat menerima lebih banyak peserta didik.
Dengan begitu, diharapkan produksi dokter spesialis akan bertambah.
Sebagai contoh, untuk jumlah spesialis anak (SpA) yang ideal seperti di negara maju, kita masih perlu lebih dari 20 ribu dokter SpA.
Sementara itu, setiap tahun hanya ada sekitar 300-400 SpA yang dihasilkan oleh 15 institusi pendidikan (fakultas kedokteran) di seluruh Indonesia.
Itu artinya perlu waktu puluhan tahun untuk mencapai jumlah SpA yang ideal untuk anak Indonesia.
Lahirnya UU No 17/2023 tentang Kesehatan belum lama ini, yang disusun dengan metode omnibus law, walaupun menimbulkan pro dan kontra, memberikan secercah harapan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di negeri ini.
Rencana ditetapkannya beberapa rumah sakit (RS) pendidikan sebagai penyelenggara utama pendidikan spesialis/subspesialis, diharapkan akan meningkatkan kapasitas jumlah penerimaan peserta pendidikan yang akhirnya akan meningkatkan jumlah lulusan spesialis.
Salah satu pasal dalam UU No 17/2023 tentang Kesehatan (Pasal 187 ayat 4) berbunyi 'Rumah sakit pendidikan dapat menyelenggarakan program spesialis/subspesialis sebagai penyelenggara utama pendidikan dengan tetap bekerja sama dengan perguruan tinggi'.
Begitu sulit ternyata mencetak spesialis di negeri ini apalagi tenaga subspesialis. B
esar harapan agar di tiap daerah bisa membantu mewujudkan kesehatan yang paripurna bagi warganya.
Kesehatan dijadikan sebagai investasi, termasuk agar lebih memperhatikan nakes terutama dokter spesialis yang ada. Suatu kewajaran bila pemerintah daerah lebih memperhatikan kehidupan nakes dan dokter di daerahnya masing-masing, karena untuk menjadi seorang dokter butuh waktu 18 tahun, spesialis 4 tahun, konsultan 3 tahun (total 25 tahun masa studi).
Memberikan kenyamanan pada tempat kerja dan kemampuan untuk mengayomi dari unsur pimpinan daerah sangat penting bagi mereka semua agar mereka bisa fokus terhadap pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat.