Dikotomi UU Otonomi Daerah dan UU Kesehatan, Serta Kaitannya dengan Kelangkaan Dokter Spesialis di Daerah
![](https://harianrakyatbengkulu.bacakoran.co/upload/6c78f0aabfdf6eb9a62a41e061f38e76.jpg)
DOKTER: Dikotomi UU Otonomi Daerah dan UU Kesehatan, Serta Kaitannya dengan Kelangkaan Dokter Spesialis di Daerah. DOK/RB--
UU otonomi daerah memberikan dampak yang luas di masyarakat, banyak pengamat mengatakan munculnya "raja-raja" kecil dan tambah menguatnya pengawasan tanpa kendali dari legislatif tanpa disertai dengan tumbuhnya kesadaran dan perubahan yang berarti.
Kesehatan merupakan salah satu aspek yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah, yang pada awalnya bersifat top-down (dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah) sekarang menjadi bottom-up (dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat).
Otonomi daerah bidang kesehatan memberikan kesempatan yang banyak kepada pemerintah untuk mengeksplorasi kemampuan daerah dari berbagai aspek, mulai dari komitmen pemimpin dan masyarakat untuk membangun kesehatan, sistem kesehatan daerah, manajemen kesehatan daerah, dana, sarana dan prasarana yang memadai, sehingga diharapkan kesehatan masyarakat di daerah menjadi lebih baik dan tinggi.
Belum lagi, permasalahan dalam hal perencanaan oleh tenaga kesehatan di daerah yang biasanya di "drop" dari pusat, harus membuat formulasi baru dan banyak tenaga kesehatan di daerah yang tidak mampu untuk membuatnya.
Apalagi ketika otonomi daerah dikaitkan dengan sistem politik yang ada di Indonesia, para bupati/walikota biasanya hanya membuat program jangka pendek, sekitar program 5 (lima) tahunan, karena masa jabatannya lima tahun.
Sehingga adakalanya program-program kesehatan hanya bersifat formalitas dan tidak menyentuh kepada masyarakat.
Padahal jika kita telaah lebih jauh, penyelesaian masalah kesehatan memerlukan waktu yang panjang, yaitu sekitar 10 tahun.
Walaupun ada program kesehatan jangka panjang yang direncanakan, namun seperti kita lihat pada kenyataannya, ketika pergantian pemimpin daerah, maka program pun berganti, dan jika tidak berganti, pasti hanya namanya saja bukan melanjutkan program yang sudah berjalan.
Secara umum otonomi daerah dalam bidang kesehatan di Indonesia kurang begitu berhasil, hal ini dikarenakan karena masih kurang memihaknya pemangku kebijakan untuk membangun kesehatan secara tuntas dan holistik.
Walaupun sudah ada daerah yang mampu dan berhasil mengembangkan konsep dan kebijakan yang mengarah kearah pembangunan kesehatan.
Terkadang beberapa kepala daerah menjadikan masalah kesehatan sebagai bahan kampanye untuk mendongkrak popularitas.
Parah ini. Ini akan menjadi tidak minatnya tenaga ahli dibidang kesehatan untuk kembali ke daerah.
Bagaimana peran dokter terutama dokter spesialis di daerah bisa bersenergi di era otonomi daerah ini? Dan kenapa keberadaannya masih langkah?
Dari data yang ada, memang masih banyak daerah kekurangan berbagai jenis dokter spesialis, terutama di luar Pulau Jawa dan Indonesia bagian timur.
Saat ini, menurut data yang tercatat di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah dokter di Indonesia sebanyak 221.227, yang terdiri atas 51.545 dokter spesialis dan 169.681 dokter (umum).