Terpisah, Akademisi Bidang Hukum Pidana Universitas Bengkulu Dr Zico Junius Fernando SH, MH mengatakan, dugaan kasus korupsi dalam pembangunan Gedung PA Mukomuko, menyoroti aspek penting dalam proses penyidikan, terutama terkait dengan ketidak hadiran saksi yang telah dipanggil secara sah.
BACA JUGA:April 2025, Kasus ISPA Tembus 7.713 Kasus di Kota Bengkulu, Meningkat 2.806 Kasus Sejak Maret
BACA JUGA: Cahaya Perempuan Bengkulu Joint Monitoring Program INKLUSI
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, kehadiran saksi dalam penyidikan merupakan bagian penting dalam pengungkapan fakta hukum atau inquisitio veritatis (pencarian kebenaran). Berdasarkan Pasal 112 KUHAP, saksi yang dipanggil secara resmi memiliki kewajiban untuk hadir dan memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan.
“Jika didapati saksi tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah, maka penyidik berwenang melakukan pemanggilan ulang. Dalam kondisi tertentu juga dapat menerapkan coactus tamen voluntarius (pemaksaan yang tetap dalam batas hukum), yakni jemput paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) KUHAP,”terangnya.
Zico menjelaskan, dalam konteks tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Proses penyidikan harus dilakukan dengan standar yang lebih ketat sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku.
Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang dalam penyelidikan dan penuntutan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh alat bukti, termasuk keterangan saksi, dapat diperoleh secara optimal (probatio plena).
Jika saksi yang dipanggil secara sah tidak hadir tanpa alasan yang dapat dibenarkan, maka hal ini dapat menghambat proses penyidikan dan berpotensi menghalangi pengungkapan kebenaran materiil.
Dalam situasi tertentu, jika terdapat indikasi bahwa saksi sengaja menghindari proses hukum, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai upaya merintangi penyidikan (obstruction of justice) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor.
“Perlu juga kita ketahui bersama, secara hukum, penerapan jemput paksa terhadap saksi bukan merupakan tindakan sewenang-wenang.
Tetapi merupakan bagian dari mekanisme yang sah dalam hukum acara pidana. Namun tetap saja, langkah ini harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kepatutan dan proporsionalitas,”jelasnya.
Lanjut Zico, Jemput paksa seharusnya menjadi langkah terakhir setelah saksi diberikan kesempatan yang cukup untuk hadir secara sukarela.
Jika pemanggilan telah dilakukan dengan prosedur yang benar dan saksi tetap mangkir tanpa alasan yang jelas, maka tindakan jemput paksa dapat digunakan guna memastikan efektivitas proses penyidikan. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya, upaya jemput paksa harus tetap menghormati hak asasi manusia dan prinsip due process of law, setiap individu berhak atas perlindungan hukum yang adil.
“Jadi, harus dilakukan secara profesional, transparan, dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar tidak menimbulkan kesan tindakan represif yang berlebihan. Dengan demikian, penerapan jemput paksa dalam kasus ini bukan hanya bertujuan untuk memastikan kelancaran proses penyidikan.
Tetapi juga untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak-hak individu dalam sistem peradilan pidana.
Selain itu, Kejaksaan sebagai institusi yang menjalankan tugasnya sesuai hukum, harus tetap kita hormati dalam setiap langkah yang diambil guna memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan baik dan adil bagi semua pihak,”tandasnya.