Bappebti Perkuat Perdagangan Nikel melalui Bursa Berjangka

FOTO: Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Tirta Karma Senjaya.--

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, Indonesia merupakan eksportir nikel terbesar didunia. 

Sementara itu, negara tujuan utama ekspor nikel Indonesia adalah Tiongkok, Jepang, Norwegia, Belanda, dan Korea Selatan.

BACA JUGA:Bisa Mencerna Makanan Beracun! Berikut 5 Fakta Unik Burung Colombian Chachalaca

BACA JUGA:RSKJ Soeprapto Bengkulu Evakuasi ODGJ di Krangkeng

Selanjutnya, Dosen Fakultas Pertambangan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Tenaga Ahli Bappebti Veriyadi menjelaskan beberapa faktor pendukung kelayakannikel masuk ke bursa berjangka. 

Faktor tersebut meliputi volume perdagangan yang besar, keragaman produk nikel Indonesia, dan volatilitas harga nikel.

“Indonesia merupakan eksportir nikel terbesar di dunia dan berkontribusi sebesar 55 persen dari produksi nikel primer dunia pada 2023. Tidak hanya itu, produk nikel Indonesia beragam seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), dan nikel matte yang perlu ditentukan harga referensinya. Harga nikel juga fluktuatif dan telah mengalami empat kali gelembung (bubble) sejak 2004,” terang Veriyadi.

Veriyadi melanjutkan, dari sisi tantangan, Indonesia perlu menetapkan harga nikel yang transparan, dapat diamati (observable price), dan mencerminkan kondisi fisik komoditas.

Proses penetapan harga ini melibatkan berbagai pihak, seperti pembeli, penjual, pedagang (trader), dan lembaga keuangan. Kemudian, tantangan lainnya adalah kemungkinan adanya harga premium, mengingat nikel sebagai komoditas yang terkonsentrasi secara geografis sering terpengaruh isu-isu geopolitik.

“Selain itu, kebijakan politik Indonesia, kebijakan politik global, serta cadangan nikel yang masuk dalam kategori ore shortage juga merupakan tantangan tersendiri. Oleh karena itu, perlu kajian dan analisis yang mendalam dari sisi keuntungan dan tantangan agar nikel menjadi komoditas yang memberikan manfaat dalam perdagangan berjangka nantinya,” tambah Veriyadi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, selain potensi yang besar, berbagai tantangan dalam perdagangan tetap harus menjadi perhatian bersama. 

Menurut Meidy, Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar dunia sudah seharusnya bisa menjadi salah satu penentu harga nikel.

“Indonesia sudah memiliki harga patokan mineral (HPM) nikel. Hal ini telah diatur Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara. Namun, harga bijih nikel Indonesia melalui HPM memiliki perbedaan sekitar 40 persen dibandingkan harga international,” ujar Meidy.

Meidy mengutarakan, rata-rata HPM untuk bijih nikel dengan kadar 1,8 persen hanya sebesar USD 36/mt pada 2024.

Sementara itu, rata-rata harga internationalnya adalah sebesar USD 63/mt pada periode yang sama. Lebih lanjut, kesenjangan (gap) harga bijih nikel melalui HPM dibandingkan dengan harga internasional secara keseluruhan mencapai USD 6,36 miliar sepanjang 2024. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan