Fundamental Perekonomian Nasional Kokoh dan Tangguh, Bangun Ekonomi di Atas Kaki Sendiri

Selasa 08 Apr 2025 - 23:56 WIB
Reporter : Sumarlin
Editor : Sumarlin

KORANRB.ID - Fundamental perekonomian nasional yang tetap kokoh dan terbukti tangguh mampu menjadi bekal optimisme dalam menghadapi ketidakpastian global saat ini. 

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil pada level 5% (yoy), posisi fiskal yang sehat dengan defisit anggaran dan rasio utang negara yang rendah, inflasi yang terkendali pada Maret 2025 sebesar 1,03% (yoy), Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Februari 2025 pada level optimis sebesar 126,4, PMI Manufaktur Maret 2025 yang berada di zona ekspansif sebesar 52,4 menjadi wujud resiliensi perekonomian nasional.

Selain berbagai capaian tersebut, peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2024 juga mampu menduduki peringkat ke-27 dari 67 Negara (World Competitiveness Ranking 2024) yang diukur dari faktor Kinerja Ekonomi, Efisiensi Pemerintah, dan Efisiensi Bisnis. 

Di samping itu, Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia berada satu tingkat di atas Investment Grade. Menurut Moody’s, ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga berkat permintaan domestik yang kuat dan komitmen Pemerintah dalam menjaga kredibilitas kebijakan moneter dan fiskal.

“Tadi sudah saya sampaikan bahwa DPK kita di atas 5% dan penyaluran kreditnya di atas 10,42%. Kemudian likuiditas perbankan terjaga, loan to deficit ratio-nya sudah juga di angka baik 88,92% dan juga kita lihat capital adequacy ratio-nya 27%. Sehingga sebetulnya perbankan kita solid dalam periode saat sekarang,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, Selasa, 8 April 2025 dilansir dari laman ekon.go.id.

BACA JUGA:Pemerintah Terima Masukan Asosiasi Pelaku Usaha, Merespons Kebijakan Tarif Resiprokal Amerika Serikat

BACA JUGA:Sherpa G20 Sepakat Perkuat Komitmen Kolektif Untuk Stabilitas dan Transformasi Global

Airlangga menambahkan bahwa risiko ketidakpastian ekonomi global di tahun 2025 cenderung tinggi dan berasal dari instabilitas geopolitik, proteksionisme negara maju yang memengaruhi rantai pasok dan perdagangan global, serta pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi yang masih tinggi.

Kondisi tersebut juga kian diwarnai dengan kebijakan Tarif Resiprokal yang dikeluarkan Amerika Serikat.

Pasca penyampaian kebijakan tarif resiprokal tersebut, sejumlah dampak timbul mulai dari gejolak pasar keuangan ekonomi global yang ditandai fluktuasi bursa saham dunia dan pelemahan mata uang emerging markets, terganggunya perdagangan dunia yang ditandai dengan terganggunya rantai pasok global dan penurunan volume perdagangan dunia sehingga menekan harga komoditas global seperti Crued Oil dan Brent, serta perlambatan ekonomi kawasan dan dunia yang ditandai dengan penurunan konsumsi global dan penundaan investasi perusahaan.

Sebagai bentuk respons atas kebijakan tersebut, sejumlah negara telah memutuskan mengambil sejumlah strategi seperti Tiongkok yang menetapkan Tarif Balasan (Retaliasi) sebesar 34%, Vietnam yang meminta penundaan penerapan tarif dan melakukan negosiasi, Uni Eropa yang menyiapkan tindakan balasan ddan membuka peluang diplomasi, Thailand yang akan melakukan negosiasi serta mempertimbangkan diversifikasi pasar, hingga India dan Malaysia yang juga akan menempuh jalur diplomatik.

Pemerintah Indonesia sendiri telah memutuskan untuk berbagai langkah strategis diantaranya melalui jalur negosiasi dengan mempertimbangkan AS sebagai mitra strategis.

Salah satu jalur negosiasi tersebut yakni melalui revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA). Pemerintah juga akan melakukan Deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui Relaksasi TKDN sektor ICT  dari AS (GE, Apple, Oracle, dan Microsoft), serta Evaluasi Lartas (Import License), hingga Percepatan Halal.

BACA JUGA:Harga TBS Kelapa Sawit di Bengkulu Utara Sentuh Batas Terendah

BACA JUGA:90 Desa Belum Cairkan DD Tahap 1, Perubahan APBDes Menjadi Kendala

Kategori :